A.
Definisi Pendekatan dan Metodologi Studi Islam
Pendekatan adalah cara pandang
atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan
dalam memahami agama. Sedangkan metode dipahami lebih sempit dari pendekatan.
Metode memiliki arti cara atau jalan yang dipilih dalam upaya memahami sesuatu.
Dalam hal ini, memahami ajaran agama yang bersumber dari Alquran dan Hadits.[1]
Berikut akan dijelaskan beberapa
pendekatan studi Islam, yang umumnya meliputi: (1) Pendekatan Teologis
Normatif; (2) Pendekatan Antropologis; (3) Pendekatan Sosiologis; (4)
Pendekatan Filosofis; (5) Pendekatan Historis; (6) Pendekatan Psikologis;
dan (7) Pendekatan Ideologis Komprehensif.
1. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif
dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami
agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu
keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling
benar dibandingkan dengan lainnya. Pendekatan normatif dapat diartikan studi
Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal atau dari segi
normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi Islam
dari apa yang tertera dalam teks Alquran dan Hadits.[2]Melalui
pendekatan teologis normatif ini, seseorang memiliki sikap militansi dalam
beragama, yakni berpegang teguh kepada yang diyakininya. Namun pendekatan ini
biasa berkaitan dengan tauhid dan ushuluddin semata.
2. Pendekatan Antropologis
Dalam konteksnya sebagai
metodologi, Antropologi merupakan ilmu tentang masyarakat dengan bertitik tolak
dari unsur-unsur tradisional, mengenai aneka warna, bahasa-bahasa dan sejarah
perkembangannya serta persebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan
manusia dalam masyarakat. Memahami Islam secara antropologis memiliki makna
memahami Islam dengan mengungkap tentang asal-usul manusia yang berbeda dengan
pandangan Teori Evolusi (The Origin of Species) nya Charles Darwin. Bisa
juga memahami misalnya, tentang kisah Ashabul Kahfi yang tidur selama kurang lebih
309 tahun. Ini merupakan salah satu topik yang menarik untuk diteliti melalui
pendekatan antropologis.[3]
3. Pendekatan Sosiologis
Pada prinsipnya, Sosiologi
merupakan sebuah kajian ilmu yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial
manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu
dengan yang lain. Pendekatan Sosiologi merupakan sebuah pendekatan dalam
memahami Islam dari kerangka ilmu sosial, atau yang berkaitan dengan aspek
hubungan sosial manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok
yang satu dengan yang lain.[4]
4. Pendekatan Filosofis
Metode filsafat berusaha untuk
sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal dengan meneliti akar
permasalahannya. Metode ini bersifat mendasar dengan cara radikal dan integral,
karena memperbincangkan sesuatu dari segi esensi (hakikat sesuatu). Harun
Nasution (1979:36) mengemukakan bahwa berfilsafat intinya adalah berfikir
secara mendalam, seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya, tidak terikat kepada
apapun, sehingga sampai kepada dasar segala dasar.
Metode ini sangat lemah,
sebagaimana dikemukakan Arkoun (1994:55) bahwa sikap filsafat mengunjung diri
dalam batas-batas anggitan dan metodologi yang telah ditetapkan oleh
nalar mandiri secara berdaulat. Selain itu, terkesan metode filsafat ini
melakukan pemaksaan gagasan-gagasan. Hal ini dikemukakan Amal dan
Panggabean (1992:19), gagasan-gagasan yang dipaksakan terlihat dalam
penjelasan para filosof Muslim mengenai kebangkitan manusia di akhirat
kelak. Kemudian, sejumlah besar gagasan asing lainnya telah disampaikan oleh
para filosof ke dalam Alquran ketika membahas tentang kekekalan dunia, doktrin
kenabian, dan Iain-Iain.[5]
Disamping itu, filsafat sejatinya
bukan merupakan pengetahuan an sich, tetapi juga merupakan cara pandang
tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara
teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran? Secara praktis,
filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan? Dari dua spektrum inilah kemudian
filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan
tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim
al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham
(isme) di luar agama para nabi. Ditambah lagi, filsafat memang ajaran yang
murni dihasilkan oleh akal manusia. Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat
itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam
telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khair (kebaikan),
termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga
telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang
dihasilkannya.[6]
5. Pendekatan Historis
Secara umum, sejarah mempunyai
dua pengertian, yaitu sejarah dalam arti subyektif, dan sejarah dalam arti
obyektif. Menurut materinya (subject-matter) nya, sejarah dapat
dibedakan atas: (a) Daerah (Asia, Eropa, Amerika, Asia Tenggara, dan
sebagainya); (b) Zaman, (misalnya zaman kuno, zaman pertengahan modern); dan
(c) Tematis (ada sejarah sosial politik, sejarah kota, agama, seni dll). Sebuah
studi atau penelitian sejarah, baik yang lalu maupun yang kontemporer,
sebenamya merupakan kombinasi antara analisa dari aktor dan peneliti, sehingga
merupakan suatu realitas dari hari lampau yang konon utuh.
Metode sejarah menitikberatkan
pada kronologi pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Soerjono Soekanto
(1969:30), pendekatan historis mempergunakan analisa atas peristiwa-peristiwa
dalam masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum. Metode ini dapat
dipakai misalnya, dalam mempelajari masyarakat Islam dalam hal pengamalan, yang
disebut dengan ”masyarakat Muslim” atau ”kebudayaan Muslim”. Metode
ini biasanya dikombinasikan dengan metode komparative (perbandingan).
Contohnya ialah seperti yang digunakan oleh Geertz yang membandingkan bagaimana
Islam berkembang di Indonesia (Jawa) dan di Maroko.[7]
Berdasarkan penjelasan tersebut,
sejarah sebenarnya hanya merupakan gambaran pelaksanaan sebuah aturan, ajaran
dan ideologi tertentu. Namun ia tetaplah bersifat subjektif, artinya dia tidak
bisa menjadi kaidah atau sumber hukum. Kecuali sejarah yang diambil dengan
riwayat shahih atau terpercaya dan sejarah tersebut bukan diambil dari
pandangan orang kafir dan orientalis. Jika hal ini dilanggar maka studi Islam
akan menjadi sebuah studi yang bersifat ‘gosip’ dan ‘fitnah’ semata.
6. Pendekatan Psikologis
Psikologi mempelajari tentang
jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati. Dalam konteks studi
agama, pendekatan Psikologis diartikan sebagai penerapan metode-metode dan data
psikologis ke dalam studi tentang keyakianan dan pemahaman keagamaan untuk
menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang, atau dengan kata lain,
pendekatan psikologis merupakan pendekatan keagamaan dengan menggunakan
paradigma dan teori-teori psikologis dalan memahami agama dan sikap keagamaan
seseorang. Salah satu cara yang dapat diterapkan dalam pendekatan ini adalah
dengan cara mempelajari jiwa seseorang melalui perilaku yang tampak yang
mungkin saja dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam hal ini,
pendekatan psikologis tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau
keyakinan yang dianut seseorang, melainkan dengan mementingkan bagaimana
keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Pendekatan ini dapat dilakukan ketika berhadapan dengan masalah sikap dan
perilaku yang ditampakkan oleh para pemeluk agama. Penerapan pendekatan ini
dalam studi Islam dapat dilihat, misalnya pada pengaruh yang ditimbulkan oleh
ibadah puasa, dan haji terhadap perilaku yang nampak setelah ibadah tersebut
dilakukan.
Pendekatan ini nampak bersifat
asumtif dan individualis, sehingga tidak komprehensif, bahkan pendekatan ini
hanya berbicara kelakuan para pemeluk Agama yang belum tentu mencerminkan agama
Islam itu sendiri. Pendekatan seperti ini bisa menyebabkan orang yang memandang
Islam malah salah paham, misal: jika sebuah masyarakat mayoritas muslim, lalu
disana ada prostitusi, dan mungkin yang melakukan kemesuman dan maksiat
tersebut bisa jadi orang Islam, nah dengan pendekatan psikologis bisa-bisa
dianggap bahwa ajaran Islam itulah yang membolehkan prostitusi. Disinilah letak
kelemahan pendekatan psikologis.
7. Pendekatan Ideologis Komprehensif
Pendekatan ini bermula dari
realitas ajaran Islam itu sendiri secara objektif, tidak terpengaruh pandangan
subjektif keilmuan Barat. Islam adalah agama (ad-din) yang diturunkan Allah swt.
kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan
dirinya sendiri dan dengan sesamanya. Yang meliputi: (1) hubungan manusia
dengan Khaliq-nya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah; (2) Hubungan
manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan, dan pakaian; (3)
Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah (publik) dan
uqubat (sanksi).
Islam adalah ajaran yang meliputi
akidah dan sistem (nizhâm). Akidah dalam konteks ini adalah keimanan kepada
Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Kiamat serta Qadha’ dan Qadar, yang baik
dan buruknya hanya dari Allah swt semata. Sedangkan nizhâm atau syariah
adalah kumpulan hukum syara’ yang mengatur seluruh masalah manusia. Syariat
Islam sendiri berisi aturan (sistem) yang bisa diklasifikasikan: (1) Peraturan
(sistem) yang menyangkut hubungan individu dengan Penciptanya (Allah swt),
seperti ibadah, baik shalat, puasa, zakat, haji-umrah, termasuk jihad; (2)
Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan individu dengan dirinya sendiri,
seperti hukum terkait pakaian, makanan, minuman, dan juga hukum seputar akhlak,
yang mencerminkan sifat dan tingkah-laku seseorang; (3) Peraturan (sistem) yang
menyangkut hubungan dengan orang lain, seperti masalah bisnis-perdagangan,
pendidikan, sosial-masyarakat, pemerintahan, politik, sanksi hukum-peradilan
dan lain-lain.
Karena itu pendekatan Ideologis
komprehensif ini adalah sebuah cara memahami Islam yang dimulai dari sebuah
pandangan bahwa Islam adalah sebuah Ideologi artinya Islam mengurusi seluruh
urusan kehidupan, sehingga harus diterapkan dalam kehidupan. Metodologi ini
menggunakan pendekatan yang integral dimana semua ilmu keislaman original
dikerahkan, mulai dari ilmu tauhid, ulumul quran, ulumul hadits, fikih, ushul
fikih, bahasa arab, dan lain sebagaiya. Pendekatan ini juga sesuai dengan
khazanah keilmuan Islam yang dikembangkan para ulama muktabar. Maka dari itu
pendekatan ini cocok untuk ajaran Islam. Pendekatan ini dikenalkan oleh pemikir
muslim, Dr. Samih Athif az-Zain dalam beberapa karyanya.
[1] Prof. Supiana, Metodologi
Studi Islam, cet. II, Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam, Jakarta,
2012. hal. 77