Saturday, January 10, 2015

Definisi Pendekatan dan Metodologi Studi Islam



A.      Definisi Pendekatan dan Metodologi Studi Islam
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Sedangkan metode dipahami lebih sempit dari pendekatan. Metode memiliki arti cara atau jalan yang dipilih dalam upaya memahami sesuatu. Dalam hal ini, memahami ajaran agama yang bersumber dari Alquran dan Hadits.[1]
Berikut akan dijelaskan beberapa pendekatan studi Islam, yang umumnya meliputi: (1) Pendekatan Teologis Normatif; (2) Pendekatan Antropologis; (3) Pendekatan Sosiologis; (4)  Pendekatan Filosofis; (5) Pendekatan Historis; (6) Pendekatan Psikologis; dan (7) Pendekatan Ideologis Komprehensif.
1.      Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Pendekatan normatif dapat diartikan studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi Islam dari apa yang tertera dalam teks Alquran dan Hadits.[2]Melalui pendekatan teologis normatif ini, seseorang memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada yang diyakininya. Namun pendekatan ini biasa berkaitan dengan tauhid dan ushuluddin semata.

2.      Pendekatan Antropologis
Dalam konteksnya sebagai metodologi, Antropologi merupakan ilmu tentang masyarakat dengan bertitik tolak dari unsur-unsur tradisional, mengenai aneka warna, bahasa-bahasa dan sejarah perkembangannya serta persebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan manusia dalam masyarakat. Memahami Islam secara antropologis memiliki makna memahami Islam dengan mengungkap tentang asal-usul manusia yang berbeda dengan pandangan Teori Evolusi (The Origin of Species) nya Charles Darwin. Bisa juga memahami misalnya, tentang kisah Ashabul Kahfi yang tidur selama kurang lebih 309 tahun. Ini merupakan salah satu topik yang menarik untuk diteliti melalui pendekatan antropologis.[3]
3.       Pendekatan Sosiologis
Pada prinsipnya, Sosiologi merupakan sebuah kajian ilmu yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang lain. Pendekatan Sosiologi merupakan sebuah pendekatan dalam memahami Islam dari kerangka ilmu sosial, atau yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang lain.[4]
4.       Pendekatan Filosofis
Metode filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal dengan meneliti akar permasalahannya. Metode ini bersifat mendasar dengan cara radikal dan integral, karena memperbincangkan sesuatu dari segi esensi (hakikat sesuatu). Harun Nasution (1979:36) mengemukakan bahwa berfilsafat intinya adalah berfikir secara mendalam, seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya, tidak terikat kepada apapun, sehingga sampai kepada dasar segala dasar.
Metode ini sangat lemah, sebagaimana dikemukakan Arkoun (1994:55) bahwa sikap filsafat mengunjung diri dalam batas-batas anggitan dan metodologi yang telah ditetapkan oleh nalar mandiri secara berdaulat. Selain itu, terkesan metode filsafat ini melakukan pemaksaan gagasan-gagasan. Hal ini dikemukakan Amal dan Panggabean (1992:19), gagasan-gagasan yang dipaksakan terlihat dalam penjelasan para filosof Muslim mengenai kebangkitan manusia di akhirat kelak. Kemudian, sejumlah besar gagasan asing lainnya telah disampaikan oleh para filosof ke dalam Alquran ketika membahas tentang kekekalan dunia, doktrin kenabian, dan Iain-Iain.[5]
Disamping itu, filsafat sejatinya bukan merupakan pengetahuan an sich, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran? Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Ditambah lagi, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia. Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khair (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya.[6]
5.      Pendekatan Historis
Secara umum, sejarah mempunyai dua pengertian, yaitu sejarah dalam arti subyektif, dan sejarah dalam arti obyektif. Menurut materinya (subject-matter) nya, sejarah dapat dibedakan atas: (a) Daerah (Asia, Eropa, Amerika, Asia Tenggara, dan sebagainya); (b) Zaman, (misalnya zaman kuno, zaman pertengahan modern); dan (c) Tematis (ada sejarah sosial politik, sejarah kota, agama, seni dll). Sebuah studi atau penelitian sejarah, baik yang lalu maupun yang kontemporer, sebenamya merupakan kombinasi antara analisa dari aktor dan peneliti, sehingga merupakan suatu realitas dari hari lampau yang konon utuh.
Metode sejarah menitikberatkan pada kronologi pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Soerjono Soekanto (1969:30), pendekatan historis mempergunakan analisa atas peristiwa-peristiwa dalam masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum. Metode ini dapat dipakai misalnya, dalam mempelajari masyarakat Islam dalam hal pengamalan, yang disebut dengan ”masyarakat Muslim” atau ”kebudayaan Muslim”. Metode ini biasanya dikombinasikan dengan metode komparative (perbandingan). Contohnya ialah seperti yang digunakan oleh Geertz yang membandingkan bagaimana Islam berkembang di Indonesia (Jawa) dan di Maroko.[7]
Berdasarkan penjelasan tersebut, sejarah sebenarnya hanya merupakan gambaran pelaksanaan sebuah aturan, ajaran dan ideologi tertentu. Namun ia tetaplah bersifat subjektif, artinya dia tidak bisa menjadi kaidah atau sumber hukum. Kecuali sejarah yang diambil dengan riwayat shahih atau terpercaya dan sejarah tersebut bukan diambil dari pandangan orang kafir dan orientalis. Jika hal ini dilanggar maka studi Islam akan menjadi sebuah studi yang bersifat ‘gosip’ dan ‘fitnah’ semata.
6.       Pendekatan Psikologis
Psikologi mempelajari tentang jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati. Dalam konteks studi agama, pendekatan Psikologis diartikan sebagai penerapan metode-metode dan data psikologis ke dalam studi tentang keyakianan dan pemahaman keagamaan untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang, atau dengan kata lain, pendekatan psikologis merupakan pendekatan keagamaan dengan menggunakan paradigma dan teori-teori psikologis dalan memahami agama dan sikap keagamaan seseorang. Salah satu cara yang dapat diterapkan dalam pendekatan ini adalah dengan cara mempelajari jiwa seseorang melalui perilaku yang tampak yang mungkin saja dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam hal ini, pendekatan psikologis tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau keyakinan yang dianut seseorang, melainkan dengan mementingkan bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya. Pendekatan ini dapat dilakukan ketika berhadapan dengan masalah sikap dan perilaku yang ditampakkan oleh para pemeluk agama. Penerapan pendekatan ini dalam studi Islam dapat dilihat, misalnya pada pengaruh yang ditimbulkan oleh ibadah puasa, dan haji terhadap perilaku yang nampak setelah ibadah tersebut dilakukan.
Pendekatan ini nampak bersifat asumtif dan individualis, sehingga tidak komprehensif, bahkan pendekatan ini hanya berbicara kelakuan para pemeluk Agama yang belum tentu mencerminkan agama Islam itu sendiri. Pendekatan seperti ini bisa menyebabkan orang yang memandang Islam malah salah paham, misal: jika sebuah masyarakat mayoritas muslim, lalu disana ada prostitusi, dan mungkin yang melakukan kemesuman dan maksiat tersebut bisa jadi orang Islam, nah dengan pendekatan psikologis bisa-bisa dianggap bahwa ajaran Islam itulah yang membolehkan prostitusi. Disinilah letak kelemahan pendekatan psikologis.
7. Pendekatan Ideologis Komprehensif
Pendekatan ini bermula dari realitas ajaran Islam itu sendiri secara objektif, tidak terpengaruh pandangan subjektif keilmuan Barat. Islam adalah agama (ad-din) yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesamanya. Yang meliputi: (1) hubungan manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah; (2) Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan, dan pakaian; (3) Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah (publik) dan uqubat (sanksi).
Islam adalah ajaran yang meliputi akidah dan sistem (nizhâm). Akidah dalam konteks ini adalah keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Kiamat serta Qadha’ dan Qadar, yang baik dan buruknya hanya dari Allah swt semata. Sedangkan nizhâm atau syariah adalah kumpulan hukum syara’ yang mengatur seluruh masalah manusia. Syariat Islam sendiri berisi aturan (sistem) yang bisa diklasifikasikan: (1) Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan individu dengan Penciptanya (Allah swt), seperti ibadah, baik shalat, puasa, zakat, haji-umrah, termasuk jihad; (2) Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan individu dengan dirinya sendiri, seperti hukum terkait pakaian, makanan, minuman, dan juga hukum seputar akhlak, yang mencerminkan sifat dan tingkah-laku seseorang; (3) Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan dengan orang lain, seperti masalah bisnis-perdagangan, pendidikan, sosial-masyarakat, pemerintahan, politik, sanksi hukum-peradilan dan lain-lain.
Karena itu pendekatan Ideologis komprehensif ini adalah sebuah cara memahami Islam yang dimulai dari sebuah pandangan bahwa Islam adalah sebuah Ideologi artinya Islam mengurusi seluruh urusan kehidupan, sehingga harus diterapkan dalam kehidupan. Metodologi ini menggunakan pendekatan yang integral dimana semua ilmu keislaman original dikerahkan, mulai dari ilmu tauhid, ulumul quran, ulumul hadits, fikih, ushul fikih, bahasa arab, dan lain sebagaiya. Pendekatan ini juga sesuai dengan khazanah keilmuan Islam yang dikembangkan para ulama muktabar. Maka dari itu pendekatan ini cocok untuk ajaran Islam. Pendekatan ini dikenalkan oleh pemikir muslim, Dr. Samih Athif az-Zain dalam beberapa karyanya.














[1] Prof. Supiana, Metodologi Studi Islam, cet. II, Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam, Jakarta, 2012. hal. 77
[2] ibid

[3] Ibid, hal. 90-91
[4] Ibid, hal. 90-91

[5] Ibid, hal. 96
[6] Drs. M. Maghfur Wachid, MA. Pengaruh Filsafat Terhadap Kemunduran Islam.
[7] Prof. Supiana, Metodologi Studi Islam, hal. 90

Tuesday, January 6, 2015

Ringkasan tentag ilmu kalam

                                   

                                   Ringkasan tentag ilmu kalam

A.    Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu Kalam adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang aqidah dengan dalil—dalil aqliyah (rasional ilmiah) dan sebagai tameng terhadap segala tantangan dari para penentang.
            Abu Hanifah menyebut nama ilmu ini dengan Fiqh al-aqbar. Menurut prinsipnya, hukum islam yang dikenal dengan Fiqh terbagi menjadi dua bagian. Pertama fiqh al-aqbar, membahas tentang keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh al-ashgar, membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja.
            Al-farabi mendefinisikan ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan dengan masalah setelah kematian yang berlandaskan doktrin islam.
            Sedangkan Ibnu Khaldun mendefinisikan Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang aqidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.

            Arti semula dari istilah “al-kalam” ialah kata-kata yang tersusun yang menunjukkan suatu maksud, kemudian dipakai untuk menunjukkan salah satu sifat tuhan, yaitu sifat berbicara. Sebagai contoh kalamullah banyak terdapat dalam Al-qur’an, diantaranya pada surah Al-baqarah ayat 75, 273, dan surah an-nisa’ ayat 164.
            Penggunaan al-kalam sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri seperti yang kita kenal sekarang pertama kali digunakan pada masa kekhalifahan bani Abbasiyyah, tepatnya pada masa khalifah Al-Ma’mun. Sebelumnya pembahasan tentang kepercayaan-kepercayaan dalam islam disebut al-Fiqh fi ad-din, sebagai imbangan terhadap al-fiqh fi al-ilm yang diartikan ilmu hukum.

            Ilmu kalam merupakan ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bukti yang yakin.   


B.     Materi Kajian Ilmu Kalam
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa materi kajian ilmu kalam ialah jama’ak aqaid artinya apa yang dipecayai dan diyakini oleh hati manusia.


C.    Sebab-sebab Penamaan
1.      Ilmu kalam karena membahas tentang ketuhanan yang logika maksudnya dalil-dalil aqliyah dari permasalahn sifat kalam bagi Allah seperti persoalan. Apakah Al-Qur’an itu Qadim (dahulu) atau hadist (baharu)
a.       Persoalan qadimiyah kalamullah
b.      Penggunaan dalil aqli yang sebegitu rupa hingga sedikit penggunaan dalil naqli
c.       Penggunaan metode argumentasi yang menyerupai mantiq.

2.      Ilmu Ushuluddin
Sebab penamaan ilmu ushuluddin terfokus pada aqidah atau  keyakinan Allah SWT, itu esa shifah, esa af’al, dll. Atau yang membahas pokok-pokok agama.

3.      Ilmu Tauhid
Sebab penamaan ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah SWT.

4.      Teologi Islam
Karena teologi membicrakan zat tuhan dari berbagai aspeknya. Dan perhatian Tuhan dengan alam semesta karena teologi sangat luas sifatnya. Teologi setiap agama bersifat liuas, maka bila dipautkan dengan islam (teologi islam) pengertiannya sama dengan ilmu kalam disebut pula ilmu jaddal (debat) ilmu aqaid dll.


D.    Sumber-sumber Ilmu Kalam
Sumber-sumber ilmu kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dalil naqli (al- Qur’an dan As-sunnah) dan dalil aqli (akal pemikiran manusia).
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber utama yang menerangkan tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan permasalahan aqidah Islamiyah yang lainnya.
Berikut ini adalah sumber-sumber Ilmu Kalam:
1.      Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu kalam, al-qur’an menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantarnya adalah:
a.       Q.S Al-Ikhlas :1-4. Ayat ini menunjukkan bahwa allah Maha Esa.
b.      Q.S Asy-Syuara : 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia maha mendengar dan maha mengetahui.
c.       Q.S Al-Furqan : 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah yang maha penyayang bertahta di atas “Arsy”. Ia pencipta langit, bumi dan semua yang ada di dalamnya.
d.      Q.S. Al-Fath : 10.Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai “tangan” atau kekuasaan yang selalu berada di atas tngan atau kekuasaan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji Allah.
e.       Q.S. Thaha : 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai mata” atau “penglihatan” yang selalu digunakan untuk mengawasi seluruh gerak , termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
Ayat-ayat di atas berkaitan dengan dzatn sifat, asma, perbuatan, tununan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan.
  
2.      Hadist
Masalah-masalah dalam ilmu kalam juga banyak disinggung dalam hadist, diantaranya yaitu hadist yang menjelaskan tentang iman, islam, dan ihsan.
            Adapula beberapa hadist yang kemudian dipahami sebagian umat sebagai prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantarnya:
“Hadist yang diriwayatkan Abdullah bin Umar. Ia mengatkan bahwa Rasulullah , “ akan menimpa umatku yang pernah menimpa bani Israil, bani Israil telah terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan saja, :siapa mereka itu wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Rasulullah menjawab “mereka adalah yang mengikuti jejakku dan dan para sahabat-sahabatku”.

3.      Pemikiran Manusia
Sebagai salah satu sumber pemikiran ilmu kalam ialah pemikiran manusia yang berasal dari pemikiran umat islam sendiri dan pemikiran yang berasal dari luar umat islam. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir dan menggunakan akalnya. Diantara ayat tesebut ialah
Q.S. At-Thariq ayat 5-7 yang artinya :
“ maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan. Dia diciptakan dari air mani yang memancar. Yang  keluar diantara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”
            Oleh karena itu, jika umat islam sanagt termotivasi untuk memaksimalkan penggunaan rasionya, hal itu bukan karena ada pengaruh dari pihak luar saja, melainkan karena ada perintah langsung dari ajaran agama mereka. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan sangat jelas penggunaan rasio dan logika dalam pembahsan ilmu kalam.

Adapun sumber kalam berupa pemikiran dari luar islam, Ahmad Amin menyebutkan setidaknya ada tiga faktor penting.
Pertama, kebanyakan orang-orang yang memeluk islam setelah kemenangannya, pada awalnya mereka memeluk berbagai agama yaitu yahudi, nasrani, brahmana dan sebagainya. Mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam ajaran-ajaran agama ini. Bahkan diantara mereka ada yang benar-benar memahami agama aslinya. Setelah fikiran mereka tenang dan mereka benar-benar teguh memeluk agama islam, mulailah mereka memikirkan ajaran agama mereka yang sebelumnya dan mengangkat persoalan-prsoalannya lalu memberinya corak baju keislaman.
Kedua golongan mu’tazilah yang memusatkan perhatiannya untuk dakwah islam dengan membantah argumentasi-argumentasi orang-orang yang memusuhi islam. Untuk itu, mereka tidak akan bisa menolak lawan-lawannya kecuali setelah mereka mempelajari pendapat-pendapa serta alasan-alasan lawan mereka . Maka terjadilah perdebatan- perdebatan yang rasional antar agama saat itu.
Ketiga, sebagaimana pada faktor ke duadimana para mutakallimin sangat membutuhkan filsafat yunani untuk mengalahkan lawan—lawannya, maka mereka terpaksa mempelajari dan mengambil manfaat dari ilmu logika, terutama dari sisi  kketuhanannya.

4.      Insting
Secara insting, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama.














HUBUNGAN AGAMA DENGAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Semua orang mungkin sepakat bahwa dalam era globalisasi tersebut keutuhan manusia ingin tetap terpelihara dengan baik, dan ilmu pengetahuan sosial di harapkan dapat menjadi salah satu alternatif yang strategis bagi pengembangan manusia indonesia seutuhnya pada era globalisasi tersebut. namun demikian ilmu pengetahuan sosial yang ada sekarang ini dinilai sudah mulai kewalahan atau hampir gagal dalam ikut serta memberikan kerangka pemecahan masalahsosial yang timbul dalam era globalisasi tersebut. Hal demiokian di sebabkan karena dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang dijadikan landasan dalam ilmu pengetahuan sosial tersebut berasal dari filsafat barat yang bertumpu pada logika rasional dan cara berfikir empirik.
Sebagai salah satu upaya mengatasi kebuntuan dari ilmu pengetahuan sosial yang demikian itu, agama diharapkan dapat memberikan arahan dan perspektif baru, sehin gga kehadiran tersebut terasa mamfaatnya oleh para penganut agama. Namun hal demikian membawa kita kepada suatu pertanyaan tentang bagaimanakah seharusnya agama itu ditampilkan; bagaimana sikap yang harus ditampilkan kalangan agamawan.
A.    Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial
Keterkaitan agama dengan masalah kemanusiaan sebagaimana tersebut menjadi penting jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi kemanusiaan di zaman modern ini. Kita mengetahui bahwa dewasa ini manusia menghadapi berbagai macam persoalan yang benar-benar membutuhkan pemecahan segera. Kadang-kadang kita merasa bahwa situasiyang penuh dengan problematika di dunia modern justru di sebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia sendiri.
Di balik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Sejak manusia memasuki zaman modern mereka mampu mengembangkan potensi-potensi rasionalnya, mereka memang telas mebebaskan diri dari belenggu pemikiran mistisyang irrasional dan belenggu pemikiran hukum alam yang sangat mengikat kebebasan manusia. Tetapi ternyata di dunia modern ini manusia tak dapat melepaskan diri dari jenis belenggu lain, yaitu penyembahan kepada hasil ciptaan diri sendiri.
Maka dalam keadaan yang demikian, kita saat ini nampaknya sudah mendesak untuk memiliki ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari berbagai problema tersebut. Ilmu pengetahuan yang dimaksudkan adalah ilmu pengetahuan yang digali dari nilai-nilai agama. Kuntowijoyo menyebutnya sabagai ilmu sosial profetik.
B.      Ilmu Sosial Bernuansa Islam
             Menurut kontowijoyo, kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak haya menjelaskan dan mengubah fonomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana tranfonmasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena yang berdasarkan cita cita etik dan profetik tertentu. Perubahan tersebut didasarkan pada tiga hal :
·         Cita cita kemanusiaan
·         Liberasi, dan
·         Transendensi
Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ( iptek ) islam bukanlah agama tertutup. Islam adalah sebuah paradigma terbuka, sebagai mata rantai peradaban dunia. Islam mewarisi peradaban yunani dan romawi di barat, dan peradaban persia, india, dan cina di timur. Ketika abad VII-XV peradaban barat dan timur tenggelam dan menjalani kemerosotan, islam bertindak sebagai perawis utamanya untuk kemudian di ambil alih oleh barat sekarang melalui renainssans. Islam jadi mata rantai yang sangat penting dalam sejarah peradaban dunia.
Islam mengembangkan matematika india, ilmu kedokteran dari cina, sistem pertahananan sasanid, logika yunani, dan sebagainya. Namun dalam proses penerimaannya itu terdapat dialegtika internal. Misalnya, untuk bidang bidang pengkajian tertentu islam menolak bagian logika yunani yang sangat rasional diganti dengan cara berpikir intiwitif yang menekankan rasa seperti yang dikenal dalam tasawuf.
Al qur an sebagai sumber utama ajaran islam diturunkan bukan dalam ruang hampa, melainkan dalam setting sosial aktual, respon normatifnya merefleksikan kondisi sosial aktual itu meskipun jelas, bahwa al qur an memiliki cita cita sosial tertentu.
            Nilai nilai kemanusiaan ( humasisasi ), liberasi, dan transendensi yang dapat di gali dalam Al qur an surat ali imran ayat 110 yang penjelasannya sebagai berikut :
·         Bahwa tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia dari proses demunanisasi. Industrialisasi yang kini terjadi terkadang menjadikan manusia sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wilayah kemanusiaan.
Sementara itu tujuan liberasi adalah pembebasan manusia dari kungkungan teknologi, pemerasan kehidupan, menyatu dengan orang miskin yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa dan berusaha membebaskan manusia dari belenggu yang kita buat sendiri. Selanjutnya tujuan dari transendensi adalah menumbuhkan dimensi transendental dalam kebudayaan.
C. Peran Ilmu Sosial Profetik Pada Era Globalisasi
Dengan ilmu sosial profetik yang kita bangun dari ajaran islam sebagaimana tersebut di atas, kita tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi hancurkan kelas yang lain. Dalam perspektif islam struktur yang adil tidakkan tercipta hanya dengan menghancurkan kelas yang menguasai alat alat produksi.
Bukti sejarah tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa dari sejak kelahirannya lima belas abad yang lalu silam telah tampil sebagai agama terbuka, akomodatif serta berdampingan dengan agama, kebudayaan dan peradaban lainnya. Tetapi, dalam waktu bersamaan islam juga tampil memberikan kritik, perbaikan, bahkan penolakan dengan cara cara yang amat simpatik dan tidak menimbulkan gejolak sosial yang membawa korban yang tidak diharapkan.
Dengan mengikuti uraian di atas, kiranya dapat menjadi jelas bahwa islam memiliki perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap masalah masalah sosial. Oleh karena itu, kehadiran ilmu sosial yang banyak membicarakan tentang manusia tersebut dapat di akui oleh islam. Namun islam memiliki pandangan yang khas tentang ilmu sosial yang harus dikembangkan, yaitu ilmu sosial profetik  yang di bangun dari ajaran islam dan dia arahkan untuk humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ilmu pengetahuan sosial demikian yang dibutuhkan dalam membangun manusia indonesia seutuhnya pada era globalisasi di abad XXI mendatang.





Pendekatan dan Metodologi Studi Islam

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
                   Agama sering dipahami sebagai sumber gambaran-gambaran yang sesunguhnya tentang dunia ini, sebab ia diyakini berasal dari wahyu yang diturunkan oleh untuk semua manusia. namun, dewasa ini, agama kerap kali dikritik karena tidak dapat mengakomidir segala kebutuhan manusia, bahkan agama dianggap sebagai sesuatu yang “menakutkan”, karena berangkat dari sanalah tumbuh berbagai macam konflik, pertentangan yang terus meminta korban. Kemudian sebagai tanggapan atas kritik itu, orang mulai mempertanyakan kembali dan mencari hubungan yang paling otentik antara agama dengan masalah-masalah kehidupan sosial budaya kemasyarakatan yang berlaku dewasa ini. Apa yang menjadi kritik terhadap agama adalah bahwa agama, tepatnya pemikiran-pemikiran keagamaannya terlalu menitik beratkan pada struktur-struktur logis argument tekstual (mormative). Ini berarti mengabaikan segala sesuatu yang membuat agama dihayati secara semestinya. Struktur logis tidak pernah berhubungan dengan tema-tema yang menyangkut tradisi, kehidupan sosial dan kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat.
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Seiring perubahan waktu dan perkembangan zaman , agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar di sampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Melihat kenyataan semacam ini, maka diperlukan rekonstruksi pemikiran keagamaan, khususnya berkaitan dengan pendekata-pendekatan teologis dan pendekatan filosofis.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Pendekatan dan Metodologi Studi Islam
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Sedangkan metode dipahami lebih sempit dari pendekatan. Metode memiliki arti cara atau jalan yang dipilih dalam upaya memahami sesuatu. Dalam hal ini, memahami ajaran agama yang bersumber dari Alquran dan Hadits.[1]
Berikut akan dijelaskan beberapa pendekatan studi Islam, yang umumnya meliputi: (1) Pendekatan Teologis Normatif; (2) Pendekatan Antropologis; (3) Pendekatan Sosiologis; (4)  Pendekatan Filosofis; (5) Pendekatan Historis; (6) Pendekatan Psikologis; dan (7) Pendekatan Ideologis Komprehensif.
1.      Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Pendekatan normatif dapat diartikan studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi Islam dari apa yang tertera dalam teks Alquran dan Hadits.[2]Melalui pendekatan teologis normatif ini, seseorang memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada yang diyakininya. Namun pendekatan ini biasa berkaitan dengan tauhid dan ushuluddin semata.

2.      Pendekatan Antropologis
Dalam konteksnya sebagai metodologi, Antropologi merupakan ilmu tentang masyarakat dengan bertitik tolak dari unsur-unsur tradisional, mengenai aneka warna, bahasa-bahasa dan sejarah perkembangannya serta persebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan manusia dalam masyarakat. Memahami Islam secara antropologis memiliki makna memahami Islam dengan mengungkap tentang asal-usul manusia yang berbeda dengan pandangan Teori Evolusi (The Origin of Species) nya Charles Darwin. Bisa juga memahami misalnya, tentang kisah Ashabul Kahfi yang tidur selama kurang lebih 309 tahun. Ini merupakan salah satu topik yang menarik untuk diteliti melalui pendekatan antropologis.[3]
3.       Pendekatan Sosiologis
Pada prinsipnya, Sosiologi merupakan sebuah kajian ilmu yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang lain. Pendekatan Sosiologi merupakan sebuah pendekatan dalam memahami Islam dari kerangka ilmu sosial, atau yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang lain.[4]
4.       Pendekatan Filosofis
Metode filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal dengan meneliti akar permasalahannya. Metode ini bersifat mendasar dengan cara radikal dan integral, karena memperbincangkan sesuatu dari segi esensi (hakikat sesuatu). Harun Nasution (1979:36) mengemukakan bahwa berfilsafat intinya adalah berfikir secara mendalam, seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya, tidak terikat kepada apapun, sehingga sampai kepada dasar segala dasar.
Metode ini sangat lemah, sebagaimana dikemukakan Arkoun (1994:55) bahwa sikap filsafat mengunjung diri dalam batas-batas anggitan dan metodologi yang telah ditetapkan oleh nalar mandiri secara berdaulat. Selain itu, terkesan metode filsafat ini melakukan pemaksaan gagasan-gagasan. Hal ini dikemukakan Amal dan Panggabean (1992:19), gagasan-gagasan yang dipaksakan terlihat dalam penjelasan para filosof Muslim mengenai kebangkitan manusia di akhirat kelak. Kemudian, sejumlah besar gagasan asing lainnya telah disampaikan oleh para filosof ke dalam Alquran ketika membahas tentang kekekalan dunia, doktrin kenabian, dan Iain-Iain.[5]
Disamping itu, filsafat sejatinya bukan merupakan pengetahuan an sich, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran? Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Ditambah lagi, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia. Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khair (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya.[6]
5.      Pendekatan Historis
Secara umum, sejarah mempunyai dua pengertian, yaitu sejarah dalam arti subyektif, dan sejarah dalam arti obyektif. Menurut materinya (subject-matter) nya, sejarah dapat dibedakan atas: (a) Daerah (Asia, Eropa, Amerika, Asia Tenggara, dan sebagainya); (b) Zaman, (misalnya zaman kuno, zaman pertengahan modern); dan (c) Tematis (ada sejarah sosial politik, sejarah kota, agama, seni dll). Sebuah studi atau penelitian sejarah, baik yang lalu maupun yang kontemporer, sebenamya merupakan kombinasi antara analisa dari aktor dan peneliti, sehingga merupakan suatu realitas dari hari lampau yang konon utuh.
Metode sejarah menitikberatkan pada kronologi pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Soerjono Soekanto (1969:30), pendekatan historis mempergunakan analisa atas peristiwa-peristiwa dalam masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum. Metode ini dapat dipakai misalnya, dalam mempelajari masyarakat Islam dalam hal pengamalan, yang disebut dengan ”masyarakat Muslim” atau ”kebudayaan Muslim”. Metode ini biasanya dikombinasikan dengan metode komparative (perbandingan). Contohnya ialah seperti yang digunakan oleh Geertz yang membandingkan bagaimana Islam berkembang di Indonesia (Jawa) dan di Maroko.[7]
Berdasarkan penjelasan tersebut, sejarah sebenarnya hanya merupakan gambaran pelaksanaan sebuah aturan, ajaran dan ideologi tertentu. Namun ia tetaplah bersifat subjektif, artinya dia tidak bisa menjadi kaidah atau sumber hukum. Kecuali sejarah yang diambil dengan riwayat shahih atau terpercaya dan sejarah tersebut bukan diambil dari pandangan orang kafir dan orientalis. Jika hal ini dilanggar maka studi Islam akan menjadi sebuah studi yang bersifat ‘gosip’ dan ‘fitnah’ semata.
6.       Pendekatan Psikologis
Psikologi mempelajari tentang jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati. Dalam konteks studi agama, pendekatan Psikologis diartikan sebagai penerapan metode-metode dan data psikologis ke dalam studi tentang keyakianan dan pemahaman keagamaan untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang, atau dengan kata lain, pendekatan psikologis merupakan pendekatan keagamaan dengan menggunakan paradigma dan teori-teori psikologis dalan memahami agama dan sikap keagamaan seseorang. Salah satu cara yang dapat diterapkan dalam pendekatan ini adalah dengan cara mempelajari jiwa seseorang melalui perilaku yang tampak yang mungkin saja dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam hal ini, pendekatan psikologis tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau keyakinan yang dianut seseorang, melainkan dengan mementingkan bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya. Pendekatan ini dapat dilakukan ketika berhadapan dengan masalah sikap dan perilaku yang ditampakkan oleh para pemeluk agama. Penerapan pendekatan ini dalam studi Islam dapat dilihat, misalnya pada pengaruh yang ditimbulkan oleh ibadah puasa, dan haji terhadap perilaku yang nampak setelah ibadah tersebut dilakukan.
Pendekatan ini nampak bersifat asumtif dan individualis, sehingga tidak komprehensif, bahkan pendekatan ini hanya berbicara kelakuan para pemeluk Agama yang belum tentu mencerminkan agama Islam itu sendiri. Pendekatan seperti ini bisa menyebabkan orang yang memandang Islam malah salah paham, misal: jika sebuah masyarakat mayoritas muslim, lalu disana ada prostitusi, dan mungkin yang melakukan kemesuman dan maksiat tersebut bisa jadi orang Islam, nah dengan pendekatan psikologis bisa-bisa dianggap bahwa ajaran Islam itulah yang membolehkan prostitusi. Disinilah letak kelemahan pendekatan psikologis.
7. Pendekatan Ideologis Komprehensif
Pendekatan ini bermula dari realitas ajaran Islam itu sendiri secara objektif, tidak terpengaruh pandangan subjektif keilmuan Barat. Islam adalah agama (ad-din) yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesamanya. Yang meliputi: (1) hubungan manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah; (2) Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan, dan pakaian; (3) Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah (publik) dan uqubat (sanksi).
Islam adalah ajaran yang meliputi akidah dan sistem (nizhâm). Akidah dalam konteks ini adalah keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Kiamat serta Qadha’ dan Qadar, yang baik dan buruknya hanya dari Allah swt semata. Sedangkan nizhâm atau syariah adalah kumpulan hukum syara’ yang mengatur seluruh masalah manusia. Syariat Islam sendiri berisi aturan (sistem) yang bisa diklasifikasikan: (1) Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan individu dengan Penciptanya (Allah swt), seperti ibadah, baik shalat, puasa, zakat, haji-umrah, termasuk jihad; (2) Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan individu dengan dirinya sendiri, seperti hukum terkait pakaian, makanan, minuman, dan juga hukum seputar akhlak, yang mencerminkan sifat dan tingkah-laku seseorang; (3) Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan dengan orang lain, seperti masalah bisnis-perdagangan, pendidikan, sosial-masyarakat, pemerintahan, politik, sanksi hukum-peradilan dan lain-lain.
Karena itu pendekatan Ideologis komprehensif ini adalah sebuah cara memahami Islam yang dimulai dari sebuah pandangan bahwa Islam adalah sebuah Ideologi artinya Islam mengurusi seluruh urusan kehidupan, sehingga harus diterapkan dalam kehidupan. Metodologi ini menggunakan pendekatan yang integral dimana semua ilmu keislaman original dikerahkan, mulai dari ilmu tauhid, ulumul quran, ulumul hadits, fikih, ushul fikih, bahasa arab, dan lain sebagaiya. Pendekatan ini juga sesuai dengan khazanah keilmuan Islam yang dikembangkan para ulama muktabar. Maka dari itu pendekatan ini cocok untuk ajaran Islam. Pendekatan ini dikenalkan oleh pemikir muslim, Dr. Samih Athif az-Zain dalam beberapa karyanya.



BAB III
PENUTUP
B.     KESIMPULAN
Semua pendekatan tersebut bersifat subjektif dan parsial, kecuali pendekatan Ideologis Komprehensif. Pendekatan ini sesuai dengan realitas Islam itu sendiri sebagai agama (ad-din) yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesamanya, Yang meliputi: (1) hubungan manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah; (2) Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan, dan pakaian; (3) Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah (publik) dan uqubat (sanksi).








DAFTAR PUSTAKA
Mukti Ali. 1991. Metode Memahami Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abuddin.1998. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Logos.
Supiana, 2012. Metodologi Studi Islam, cet. II, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam.
Wachid, M. Maghfur. Pengaruh Filsafat Terhadap Kemunduran Islam, diakses 15 Oktober 2013, sumber: kuliahpemikiran.wordpress.com
 Abdullah, M. Amin . 1996. Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.





[1] Prof. Supiana, Metodologi Studi Islam, cet. II, Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam, Jakarta, 2012. hal. 77
[2] ibid

[3] Ibid, hal. 90-91
[4] Ibid, hal. 90-91

[5] Ibid, hal. 96
[6] Drs. M. Maghfur Wachid, MA. Pengaruh Filsafat Terhadap Kemunduran Islam.
[7] Prof. Supiana, Metodologi Studi Islam, hal. 90